Sabtu, 24 Maret 2012

Hukum Perjanjian

NAMA : FAJAR SIDIQ PERMANA
NPM : 22210574
KELAS : 2 EB 21


HUKUM PERJANJIAN
Pengertian Perjanjian

1. Menurut Kitab Undang Undang Hukum Perdata
Perjanjian menurut Pasal 1313 Kitab Undang Undang Hukum Perdata berbunyi : “Suatu Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.

2. Menurut Rutten
Perjanjian adalah perbuatan hokum yang terjadi sesuai dengan formalitas-formalitas dari peraturan hokum yang ada, tergantung dari persesuaian pernyataan kehendak dua atau lebih orang-orang yang ditujukan untuk timbulnya akibat hukum demi kepentingan salah satu pihak atas beban pihak lain atau demi kepentingan dan atas beban masing-masing pihak secara timbal balik.

3. Menurut adat
Perjanjian menurut adat disini adalah perjanjian dimana pemilik rumah memberikan ijin kepada orang lain untuk mempergunakan rumahnya sebagai tempat kediaman dengan pembayaran sewa dibelakang (atau juga dapat terjadi pembayaran dimuka).
Macam – Macam Perjanjian
1). Perjanjian dengan Cuma-Cuma dan perjanjian dengan beban
2). Perjanjian sepihak dan perjanjian timbal balik
3). Perjanjian konsensuil, formal dan, riil
4). Perjanjian bernama, tidak bernama dan, campuran
Syarat sahnya perjanjian

Menurut Pasal 1320 Kitab Undang Undang Hukum Perdata, sahnya perjanjian harus memenuhi empat syarat yaitu :
1. Sepakat untuk mengikatkan diri
2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian.
3. Suatu hal tertentu
4. Sebab yang halaL


Dua syarat yang pertama yaitu kesepakatan dan kecakapan yang disebut syarat- syarat subyektif. Sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat objektif, karena mengenai perjanjian itu sendiri atau obyek dari perbuatan hukum yang dilakukan.

Pelaksanaan Perjanjian
Itikad baik dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata merupakan ukuran objektif untuk menilai pelaksanaan perjanjian, artinya pelaksanaan perjanjian harus mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan. Salah satunya untuk memperoleh hak milik ialah jual beli.
Pelaksanaan perjanjian ialah pemenuhan hak dan kewajiban yang telah diperjanjikan oleh pihak-pihak supaya perjanjian itu mencapai tujuannya.
Jadi perjanjian itu mempunyai kekuatan mengikat dan memaksa. Perjanjian yang telah dibuat secara sah mengikat pihak-pihak, perjanjian tersebut tidak boleh diatur atau dibatalkan secara sepihak saja.
Pembatalan Perjanjian
Suatu perjanjian dapat dibatalkan oleh salah satu pihak yang membuat perjanjian ataupun batal demi hokum. Perjanjian yang dibatalkan oleh salah satu pihak biasanya terjadi karena:

1. Adanya suatu pelanggaran dan pelanggaran tersebut tidak diperbaiki dalam jangka waktu yang ditentukan atau tidak dapat diperbaiki.
2. Pihak pertama melihat adanya kemungkinan pihak kedua mengalami kebangkrutan atau secara financial tidak dapat memenuhi kewajibannya.
3. Terkait resolusi atau perintah pengadilan
4. Terlibat Hukum
5. Tidak lagi memiliki lisensi, kecakapan, atau wewenang dalam melaksanakan perjanjian

 Standar Kontrak

Di dalam praktek, setiap bank telah menyediakan blangko (formulir, model) perjanjian kredit, yang isinya telah disiapkan terlebih dahulu (standard form). Formulir ini disodorkan kepada setiap pemohon kredit. Isinya tidak diperbincangkan dengan pemohon. Kepada pemohon hanya dimintakan pendapatnya apakah dapat menerima syarat-syarat tersebut di dalam formulir itu atau tidak.
Hal di atas menunjukkan bahwa perjanjian kredit dalam praktek tumbuh perjanjian standard (standard contract).

Yang menjadi permasalahan apakah kontrak standard secara juridis sah dan mempunyai akibat hukum. Untuk itu timbul berbagai pendapat dari kalangan pakar antara lain:

1. Pitlo, kontrak standard adalah dua kontrak saja alasan kebebasan pihak-pihak yang dijamin oleh Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata sudah dilanggar.
2. Slaiter, secara materil merupakan “legio particu liere welgivers” (membentuk undang-undang swasta). Dengan alasan kreditur dalam hal ini bank secara sepihak menentukan substansi perjanjian.
3. Eggins, kebebasan kehendak dalam perjanjian merupakan tuntutan kesusilaan. Ini berarti kontrak standard bertentangan dengan asas-asas hubungan perjanjian (Pasal 1320 jo Pasal 1338 KUH Perdata) tapi dalam praktek, perjanjian timbul karena keadaan mengendalikannya dan harus diterima sebagai kenyataan.

4. Honius, mengatakan perjanjian buku mempunyai kekuatan mengikat berdasarkan kebiasaan yang berlaku di lingkungan masyarakat dan lalu lintas perdagangan.
5. Stein, menyatakan perjanjian baru dapat diterima sebagai perjanjian berdasarkan fiksi adanya kemauan dan kepercayaan (fictievan wil en vitroven) yang membangkitkan kepercayaan bahwa para pihak mengikatkan diri pada perjanjian itu. Kalau nasabah debitur menerima dokumen perjanjian berarti nasabah tersebut secara sukarela tetapi pada isi perjanjian itu.
6. Mariam Darus, dasar berlakunya kontrak standard kredit bank didasarkan oleh nasabah debitur tidak dianggap menyetujui sungguhpun dalam kenyataannya nasabah debitur tidak mengetahui isinya. Dalam perjanjian kredit, formil nasabah debitur menyetujuinya tetapi secara materiil terpaksa menerimanya. Adanya penyesuaian kehendak adalah fiktif.


Menurut Mariam Darus, standar kontrak terbagi dua yaitu umum dan khusus.
1. Kontrak standar umum artinya kontrak yang isinya telah disiapkan lebih dahulu oleh kreditur dan disodorkan kepada debitur.

2. Kontrak standar khusus, artinya kontrak standar yang ditetapkan pemerintah baik adanya dan berlakunya untuk para pihak ditetapkan sepihak oleh pemerintah.

3. Remi Syahdeini, keabsahan berlakunya kontrak baru tidak perlu lagi dipersoalkan oleh karena kontrak batu eksistensinya sudah merupakan kenyataan. Kontrak baru lahir dari kebutuhan masyarakat (society nuds). Dunia bisnis tidak dapat berlangsungnya tanpa kontrak baru yang masih dipersoalkan adalah sifat berat setelah dan tidak mengandung klausul yang secara tidak wajar sangat memberatkan bagi pihak lainnya. Sehingga perjanjian itu perjanjian menindas dan tidak adil. Yang dimaksud berat sebelah adalah kontrak itu hanya atau terutama mencantumkan hak-hak salah satu pihak saja sehingga pihak yang mempersiapkan kontrak standar tanpa mencamtumkan apa yang menjadi keinginannya. Demikian pula sebaliknya pihak yang menerima kontrak baru ini (Sari Kuliah Kapita Selecta Hukum Perdata tanggal 09/10-02 oleh Dr. Tan Kamello, S.H).

Suatu kontrak harus berisi:

* Nama dan tanda tangan pihak-pihak yang membuat kontrak.
* Subjek dan jangka waktu kontrak
* Lingkup kontrak
* Dasar-dasar pelaksanaan kontrak
* Kewajiban dan tanggung jawab
* Pembatalan kontrak.









 Macam-Macam Perjanjian


Macam-macam perjanjian obligator ialah sbb;
1). Perjanjian dengan Cuma-Cuma dan perjanjian dengan beban
• Perjanjian dengan Cuma-Cuma ialah suatu perjanjian dimana pihak yang satu memberikan suatu keuntungan kepada yang lain tanpa menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri. (Pasal 1314 ayat (2) KUHPerdata).
• Perjanjian dengan beban ialah suatu perjanjian dimana salah satu pihak memberikan suatu keuntungan kepada pihak lain dengan menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri.


2). Perjanjian sepihak dan perjanjian timbal balik
• Perjanjian sepihak adalah suatu perjanjian dimana hanya terdapat kewajiban pada salah satu pihak saja.
• Perjanjian timbal balik ialah suatu perjanjian yang memberi kewajiban dan hak kepada kedua belah pihak.
3). Perjanjian konsensuil, formal dan, riil
• Perjanjian konsensuil ialah perjanjian dianggap sah apabila ada kata sepakat antara kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian tersebut.
• Perjanjian formil ialah perjanjian yang harus dilakukan dengan suatu bentuk teryentu, yaitu dengan cara tertulis.
• Perjanjian riil ialah suatu perjanjian dimana selain diperlukan adanya kata sepakat, harus diserahkan.
4). Perjanjian bernama, tidak bernama dan, campuran
• Perjanjian bernama adalah suatu perjanjian dimana Undang Undang telah mengaturnya dengan kententuan-ketentuan khusus yaitu dalam Bab V sampai bab XIII KUHPerdata ditambah titel VIIA.
• Perjanjian tidak bernama ialah perjanjian yang tidak diatur secara khusus.
• Perjanjian campuran ialah perjanjian yang mengandung berbagai perjanjian yang sulit dikualifikasikan.


 Syarat Sahnya Perjanjian

Bagaimanakah Syarat Sah Suatu Perjanjian ?

Berdasar ketentuan hukum yang berlaku pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, suatu perjanjian dinyatakan sah apabila telah memenuhi 4 syarat komulatif yang terdapat dalam pasal tersebut, yaitu :

1. Adanya kesepakatan para pihak untuk mengikatkan diri
Bahwa semua pihak menyetujui/sepakat mengenai materi yang diperjanjikan, dalam hal ini tidak terdapat unsur paksaan, intimidasi ataupun penipuan.

2. Kecakapan para pihak untuk membuat perjanjian
Kata kecakapan yang dimaksud dalam hal ini adalah bahwa para pihak telah dinyatakan dewasa oleh hukum, (ukuran dewasa sesuai ketentuan KUHPerdata adalah telah berusia 21 tahun; sudah atau pernah menikah), tidak gila, tidak dibawah pengawasan karena perilaku yang tidak stabil dan bukan orang-orang yang dalam undang-undang dilarang membuat suatu perjanjian tertentu.

3. Ada suatu hal tertentu
Bahwa obyek yang diperjanjikan dapat ditentukan dan dapat dilaksanakan oleh para pihak.

4. Adanya suatu sebab yang halal
Suatu sebab dikatakan halal apabila sesuai dengan ketentuan pasal 1337 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yaitu :

• tidak bertentangan dengan ketertiban umum
• tidak bertentangan dengan kesusilaan
• tidak bertentangan dengan undang-undang







 Syarat Lahirnya Perjanjian

Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik yaitu keinginan subyek hukum untuk berbuat sesuatu, kemudian mereka mengadakan negosiasi dengan pihak lain, dan sudah barang tentu keinginan itu sesuatu yang baik. Itikad baik yang sudah mendapat kesepakatan terdapat dalam isi perjanjian untuk ditaati oleh kedua belah pihak sebagai suatu peraturan bersama. Isi perjanjian ini disebut prestasi yang berupa penyerahan suatu barang, melakukan suatu perbuatan, dan tidak melakukan suatu perbuatan.

Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi 4 syarat:

1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan diri.
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
3. Suatu pokok persoalan tertentu.
4. Suatu sebab yang tidak terlarang.
Dua syarat pertama disebut juga dengan syarat subyektif, sedangkan syarat ketiga dan keempat disebut syarat obyektif. Dalam hal tidak terpenuhinya unsur pertama (kesepakatan) dan unsur kedua (kecakapan) maka kontrak tersebut dapat dibatalkan. Sedangkan apabila tidak terpenuhinya unsur ketiga (suatu hal tertentu) dan unsur keempat (suatu sebab yang halal) maka kontrak tersebut adalah batal demi hukum.
Suatu persetujuan tidak hanya mengikat apa yang dengan tegas ditentukan di dalamnya melainkan juga segala sesuatu yang menurut sifatnya persetujuan dituntut berdasarkan keadilan, kebiasaan atau undang-undang. Syarat-syarat yang selalu diperjanjikan menurut kebiasaan, harus dianggap telah termasuk dalam suatu persetujuan, walaupun tidak dengan tegas dimasukkan di dalamnya.



 Pembatalan Dan Pelaksanaan Suatu Perjanjian

Pengertian pembatalan dalam uraian ini mengandung dua macam kemungkinan alasan, yaitu pembatalan karena tidak memenuhi syarat subyektif, dan pembatalan karena adanya wanprestasi dari debitur.

Pembatalan dapat dilakukan dengan tiga syarat yakni:
1) Perjanjian harus bersifat timbale balik (bilateral)
2) Harus ada wanprestasi (breach of contract)
3) Harus dengan putusan hakim (verdict)

Pelaksanaan Perjanjian

Yang dimaksud dengan pelaksanaan disini adalah realisasi atau pemenuhan hak dan kewajiban yang telah diperjanjikan oleh pihak- pihak supaya perjanjian itu mencapai tujuannya. Pelaksanaan perjanjian pada dasarnya menyangkut soal pembayaran dan penyerahan barang yang menjadi objek utama perjanjian. Pembayaran dan penyerahan barang dapat terjadi secara serentak. Mungkin pembayaran lebih dahulu disusul dengan penyerahan barang atau sebaliknya penyerahan barang dulu baru kemudian pembayaran.

Pembayaran:

1) Pihak yang melakukan pembayaran pada dasarnya adalah debitur yang menjadi pihak dalam perjanjian

2) Alat bayar yang digunakan pada umumnya adalah uang

3) Tempat pembayaran dilakukan sesuai dalam perjanjian

4) Media pembayaran yang digunakan

5) Biaya penyelenggaran pembayaran

Penyerahan Barang

Yang dimaksud dengan lavering atau transfer of ownership adalah penyerahan suatu barang oleh pemilik atau atas namanya kepada orang lain, sehingga orang lain ini memperoleh hak milik atas barang tersebut. Syarat- syarat penyerahan barang atau lavering adalah sebagai berikut:

1) Harus ada perjanjian yang bersifat kebendaan

2) Harus ada alas hak (title), dalam hal ini ada dua teori yang sering digunakan yaitu teori kausal dan teori abstrak

3) Dilakukan orang yang berwenang mengusai benda

4) Penyerahan harus nyata (feitelijk)

Penafsiran dalam Pelaksanaan Perjanjian

Dalam suatu perjanjian, pihak- pihak telah menetapkan apa- apa yang telah disepakati. Apabila yang telah disepakati itu sudah jelas menurut kata- katanya, sehingga tidak mungkin menimbulkan keraguan- keraguan lagi, tidak diperkenankan memberikan pengewrtian lain. Dengan kata laintidak boleh ditafsirkan lain (pasal 1342 KUHPdt). Adapun pedoman untuk melakukan penafsiran dalam pelaksanaan perjanjian, undang- undang memberikan ketentuan- ketentuan sebagai berikut:

1) Maksud pihak- pihak
2) Memungkinkan janji itu dilaksanakan
3) Kebiasaan setempat
4) Dalam hubungan perjanjian keseluruhan
5) Penjelasan dengan menyebutkan contoh
6) Tafsiran berdasarkan akal sehat.

Sumber :

http://www.scribd.com/doc/13273745/HUKUM-PERJANJIAN
http://carmelcurhatmodeon.blogspot.com/2010/04/hukum-perjanjian.html
http://asro.wordpress.com/2011/10/31/kontrak-5-syarat-sahnya-perjanjian/
Dan Berbagai Sumber Lainnya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar